Akhir dari Sebuah Awal
Kupandangi wajahnya
yang berhiaskan senyuman. Senyuman yang kini hanya tertuju kepadaku
itu. Ah, surga memang tak sejauh itu. Aku semakin dekat dengan surga
versiku. Setelah mengumpulkan keberanian sekian lama, akhirnya aku
akan meraih surgaku...
How I love the way
you move
And the sparkle in your eyes
There's a color deep inside them
Like blue suburban skys...
And the sparkle in your eyes
There's a color deep inside them
Like blue suburban skys...
“Lagunya pas
banget nih buat kamu, hehe..” ujarku
sedikit kaku seraya tersipu. Senyumnya makin melebar. Namun sesaat
kemudian senyum itu meredup.
“Mengapa baru
sekarang, sih?” katanya.
Aku
mengernyit. Mataku mengisyaratkan tak mengerti dengan perkataannya
barusan.
“Mengapa baru
belakangan ini kamu berani menyapaku? Mengapa tak dari dulu? Kamu
tahu nggak, sejak lama aku ingin berkenalan denganmu. Tapi aku malu.
Kamu... terlalu jauh dan tinggi buatku. Kamu dan teman-teman basketmu
itu, kamu dan perempuan-perempuan cantik yang selalu mengelilingimu
itu... Kamu yang sepertinya hanya bisa menatapku tapi enggan
mengenalku lebih jauh...” ujarnya
sedikit terisak.
Kulihat
setitik air mata jatuh ke pipinya. Buru-buru ia mengusapnya. Setitik
lagi muncul, ia usap kembali. Mengapa dia menangis?
“Kamu... kenapa?
Kan aku sudah di sini, kita bisa berkenalan lebih jauh lagi, bukan?”
jawabku sambil berusaha memberi
senyuman paling menenangkan yang dapat aku buat.
“Bukan itu....
Aku...”
Pukul 10 pagi , di
atas hamparan pasir pantai putih.
Di sanalah ia berdiri.
Di antara celah-celah mentari. Sinar mentari kala itu sedikit
menghalangiku melihat wajahnya. Tapi aku yakin ia sedang tersenyum.
Dia.
Dia yang selalu aku lihat ketika jam istirahat sekolah. Sudah hampir 3 tahun senyumnya menemaniku ketika beristirahat.
Dia yang selalu aku lihat ketika jam istirahat sekolah. Sudah hampir 3 tahun senyumnya menemaniku ketika beristirahat.
Hey, aku tidak bilang aku jatuh cinta. Aku tidak
tahu lebih tepatnya. Aku hanya suka melihat senyumnya. Lagi pula
terlalu aneh bagiku untuk jatuh cinta pada orang yang tidak aku
kenal.
Namun
setelah semalam suntuk menghabiskan waktu dengannya, aku yakin aku
jatuh cinta padanya. Meski terlambat.
Ah.
Ia
menghampiriku dengan senyum surganya. Pareo yang ia kenakan melambai
tertiup angin. Pemandangan yang sangat indah di mataku. Ia mengelus
kepalaku sambil meraih susu kaleng yang sedang kugenggam lalu
meneguknya.
“I have a great
time with you. Thanks ya, Kak... Aku bahagia bisa ngobrol
ngalor-ngidul sama kamu. Bahas “Catcher in the Rye”, nonton
“Eternal Sunshine of the Spotless Mind” sambil minum kopi, lalu
subuh-subuh, jalan ke pantai lihat sunrise. Makasih ya, Kak... Nggak
pernah nyangka bisa begini sama kamu...” katanya
sambil menyenderkan kepala ke bahuku.
Ternyata
sudah lama pula ia merasakan hal yang sama . Tiga tahun pula ia hanya
bisa memandangku tanpa berani melakukan apapun. Ia bilang padaku
bahwa rasanya bahagia sekali saat aku menatap matanya dan akhirnya
mengajaknya berkenalan lalu bertemu di kafe. Betapa indahnya ketika
kau mengetahui bahwa orang yang diam-diam kau sukai, menyukaimu juga.
Tapi...
“Kalau saja aku
bisa menghapus kamu dari ingatanku kayak “Eternal Sunshine of the
Spotless Mind,” jujur, aku ingin melakukannya...” ujarku.
Ia
tertunduk sambil memainkan pasir dengan kakinya. “Setidaknya,
akhirnya kita bisa berkenalan dan punya satu hari yang membahagiakan,
bukan? Maafkan aku, aku tak pernah mengira kamu punya perasaan yang
sama denganku. Maafkan aku...”
katanya. Kali ini, ia membiarkan air matanya mengalir. Hangat air
mata itu terasa hingga ke lenganku.
Ya Tuhan, mengapa
begini?
Pukul 11 malam,
di ruang tunggu Bandara
Aku
tak pernah sadar bahwa memendam perasaan bisa membuat seseorang
memiliki luka yang sangat dalam. Aku tak pernah menyangka bahwa
perasaan yang tak terungkapkan bisa membuat seseorang mengambil
keputusan yang begitu impulsif, begitu.......menyakitkan bagi pihak
yang lainnya.
Setelah tiga tahun memperhatikanku, tiga tahun melihat tatapanku, tiga tahun menyaksikan tingkah lakuku, ia berkesimpulan bahwa aku tak akan pernah menyukainya. Bahkan ia mengira bahwa aku menganggapnya hanya perempuan kecil bersuara nyaring dan usil. Ia mengira bahwa aku, dengan teman-teman "eksis" dan gadis-gadis SMA cantik di sekelilingku, tak akan pernah mau berkenalan dengannya.
Sungguh pemikiran absurd. Darimana dia bisa berkesimpulan seperti itu sih? Pasti dia termakan dengan novel teenlit dan film-film remaja Hollywood yang begitu tipikal. Huh.
Akhirnya, tiga tahun sudah ia memendam rasa padaku dan memperhatikanku. Ternyata ia tahu bahwa selain main basket, aku suka membuat film pendek dan menulis blog. Ya Tuhan, dia bahkan tahu alamat blog tersembunyi yang kumiliki. Katanya, ia makin jatuh cinta setelah melihat sisi lain dariku. Sisiku yang senang melantunkan kata dan melontarkan pemikiranku tentang film, musik, kuliner, dan semuanya.
Ah, andai ia tahu bahwa akupun berlaku seperti itu padanya!
Tapi apa boleh buat, ia memutuskan untuk pergi jauh dari Indonesia. Pergi jauh dariku, dan semua bayangan tentangku. Ini tak adil! Kerap kulontarkan kata-kata itu pada nya saat menghabiskan malam bersama di kafe 24 jam itu.
"Andai saja aku tahu perasaanmu, Kak" tuturnya
"Andai saja aku berani mengajakmu berkenalan sejak dulu..."balasku.
" Flight-ku sebentar lagi, Kak." Matanya mulai direbaki air. Ia menghirup udara lewat hidung kencang-kencang, berharap air matanya tak jatuh.
Aku memeluknya erat. Pecahlah tangisnya. Pun aku menitikkan air Mata. Sungguh, aku tak menyangka hal ini akan terjadi dan berakhir seperti ini.
Aku belajar bahwa sebagai manusia, kita kerap menyimpulkan segala sesuatu seolah kita Tuhan. Kita kerap menebak perasaan dan pikiran orang seolah kita cenayang.
Tapi tidak, perasaan bukan kita yang atur. Ia muncul alamiah, tak bisa kita elak. Aku belajar bahwa memendam perasaan, bukanlah opsi yang tepat jika kau tak ingin terluka.
Namun, semuanya telah terjadi.
Empat tahun lagi ia akan lulus. Empat tahun lagi ia akan kembali.
Kutunggu kau empat tahun lagi, Lembayung Jingga Sastrawijata.
Di sini.
Penuh cinta,
-Biru Langit Kalamaru-
"To burn with desire and keep quiet about it is the greatest punishment we can bring on ourselves."- Federico GarcĂa Lorca.
To : Ratu Vienny Fitrilya, ini #AkuLanjutinYa ceritamu... :")
Setelah tiga tahun memperhatikanku, tiga tahun melihat tatapanku, tiga tahun menyaksikan tingkah lakuku, ia berkesimpulan bahwa aku tak akan pernah menyukainya. Bahkan ia mengira bahwa aku menganggapnya hanya perempuan kecil bersuara nyaring dan usil. Ia mengira bahwa aku, dengan teman-teman "eksis" dan gadis-gadis SMA cantik di sekelilingku, tak akan pernah mau berkenalan dengannya.
Sungguh pemikiran absurd. Darimana dia bisa berkesimpulan seperti itu sih? Pasti dia termakan dengan novel teenlit dan film-film remaja Hollywood yang begitu tipikal. Huh.
Akhirnya, tiga tahun sudah ia memendam rasa padaku dan memperhatikanku. Ternyata ia tahu bahwa selain main basket, aku suka membuat film pendek dan menulis blog. Ya Tuhan, dia bahkan tahu alamat blog tersembunyi yang kumiliki. Katanya, ia makin jatuh cinta setelah melihat sisi lain dariku. Sisiku yang senang melantunkan kata dan melontarkan pemikiranku tentang film, musik, kuliner, dan semuanya.
Ah, andai ia tahu bahwa akupun berlaku seperti itu padanya!
Tapi apa boleh buat, ia memutuskan untuk pergi jauh dari Indonesia. Pergi jauh dariku, dan semua bayangan tentangku. Ini tak adil! Kerap kulontarkan kata-kata itu pada nya saat menghabiskan malam bersama di kafe 24 jam itu.
"Andai saja aku tahu perasaanmu, Kak" tuturnya
"Andai saja aku berani mengajakmu berkenalan sejak dulu..."balasku.
" Flight-ku sebentar lagi, Kak." Matanya mulai direbaki air. Ia menghirup udara lewat hidung kencang-kencang, berharap air matanya tak jatuh.
Aku memeluknya erat. Pecahlah tangisnya. Pun aku menitikkan air Mata. Sungguh, aku tak menyangka hal ini akan terjadi dan berakhir seperti ini.
Aku belajar bahwa sebagai manusia, kita kerap menyimpulkan segala sesuatu seolah kita Tuhan. Kita kerap menebak perasaan dan pikiran orang seolah kita cenayang.
Tapi tidak, perasaan bukan kita yang atur. Ia muncul alamiah, tak bisa kita elak. Aku belajar bahwa memendam perasaan, bukanlah opsi yang tepat jika kau tak ingin terluka.
Namun, semuanya telah terjadi.
Empat tahun lagi ia akan lulus. Empat tahun lagi ia akan kembali.
Kutunggu kau empat tahun lagi, Lembayung Jingga Sastrawijata.
Di sini.
Penuh cinta,
-Biru Langit Kalamaru-
"To burn with desire and keep quiet about it is the greatest punishment we can bring on ourselves."- Federico GarcĂa Lorca.
To : Ratu Vienny Fitrilya, ini #AkuLanjutinYa ceritamu... :")
Comments