Aku dan Budayaku (cross culture communication's assignment)

Nama saya Lydia Natasha Hadiwinata. Saya berasal dari keluarga keturunan Tionghoa campuran. Ayah saya keturunan Cina, dengan ibu dan ayahnya lahir di Cirebon, jadi Cina-Cirebon. Lalu Ibu saya memiliki ibu orang Cina dari Labuan, dan ayahnya dari Padang. Kakek dan Nenek dari ayah, yang biasa saya panggil engkong dan ema, itu adalah keturunan Cina dua-duanya. Sedangkan Nenek dari Ibu, saya memanggilnya Ema dan Kakek saya panggil Datuk karena beliau berasal dari tanah Minang. Memang jika dilihat secara fisik, penampilan saya dengan kedua orang tua saya berbeda jauh. Mereka putih dan sipit, sedangkan saya hitam dan belo, bahkan bertubuh pendek sementara kedua orangtua saya cukup tinggi. Itulah yang membuat saya sebal kalau ditanya tentang ‘saya orang apa’, pasti ketika saya jawab ‘Cina’ , orang-orang akan membelalak dan bertanya ‘masa sih?’.

Saya sendiri selain kesal, juga bingung jika ditanya dari mana asalnya. Karena kalau saya jawab keturunan cina, semua orang pasti bingung. Mengapa bingung? Ya, karena saya memiliki kulit yang hitam dan mata yang besar, dan orang-orang pasti tidak percaya jika saya bilang saya orang cina. Jika mereka melihat orang tua saya, baru mereka percaya.

Saya adalah anak tunggal, tapi saya mempunyai lima orang sepupu dari Ibu dan dua orang sepupu dari ayah. Dua orang sepupu dari ayah berdomisili di Cirebon, dan lima lainnya di Bekasi dan Cibubur. Saya lebih dekat dengan sepupu-sepupu saya dari Ibu yang kebetulan tinggal tidak jauh dari saya dan kelimanya wanita semua. Mereka semua sudah memiliki anak. Hanya saya yang masih kuliah dan belum memiliki momongan. Jumlah keponakan saya sepuluh orang, lucu-lucu dan menggemaskan.

Ada satu hal yang unik dari keluarga saya. Cucu Datuk jumlahnya total 6 orang, dari enam orang tersebut, tiga berkulit putih, tiga lainnya berkulit hitam. Dan saya termasuk yang berkulit hitam tersebut. Keluarga saya adalah keluarga yang kompak, saya seringkali berkunjung ke tempat sepupu-sepupu saya dan bermain bersama anak-anak atau keponakan saya yang lucu-lucu itu.

Saya dibesarkan sendirian oleh orang tua saya, karena saya hanyalah anak semata wayang mereka, namun saya tidak pernah dimanjakan oleh kedua orang tua saya, karena mereka ingin saya mandiri, tidak bergantung pada orang lain. Budaya yang ditanamkan waktu kecil misalnya, jika siang hari, saya harus tidur siang, kalau tidak, saya akan dikurung di kamar dengan harapan saya akan tertidur (padahal saya tidak tertidur, hanya pura-pura saja). Selain itu, saya juga harus makan sampai habis, tidak boleh membuang-buang dan menyia-nyiakan makanan karena makanan itu diberikan oleh Tuhan kepada saya. Selain itu, saya juga harus disiplin waktu, dan harus bisa membagi waktu walau saya masih kecil. Harus bisa membagi waktu kapan belajar, kapan bermain, dan juga kapan mengerjakan PR dari sekolah. Oleh karena itu, saya selalu ranking satu dari Playgroup hingga tamat SD, jika nilai saya turun sedikit saja, orangtua saya bisa kecewa sekali. Ya, walau ketika masuk SMP sudah tidak bisa lagi juara satu, setidaknya nilai saya harus bagus, tidak boleh jelek, walaupun matematika merah. Orangtua saya sudah maklum karena saya tidak suka matematika sejak kecil.

Di rumah, saya dan orangtua saya tidak pernah menerapkan budaya dari kultur manapun. Entah itu dari Cina, Padang, ataupun Cirebon. Kami hanya menjalani hari-hari seperti biasa, ya walau terkadang pola pikir orang tua saya lebih ke Cina atau Tionghoa yang misalnya kita harus memanggil keluarga dengan panggilan seperti ‘engku’, ‘kukong’, ‘cici’, ‘ai’, ‘koko’, dan lain-lainnya. Ya walau saya juga tidak selalu ingat panggilan-panggilan tersebut, karena ya memang di keluarga saya dan keluarga besar kami, kami sudah bukan Cina asli, tidak menganut terlalu banyak kepercayaan Cina. Kebudayaan yang kami jalani adalah kebudayaan yang lebih ke agama kami, yaitu Kristen. Jadi kami hidup selayaknya orang Kristen, bukan terlalu orang Cina, misalnya sebelum makan harus berdoa, sebelum tidur harus saat teduh, ke Gereja tiap hari Minggu, dan menjadi aktivis di acara-acara gereja.

Dari kecil saya memang dibiasakan untuk aktif dalam kegiatan-kegiatan keagamaan di Gereja saya, misalnya menyanyi, menari atau drama kalau ada natal ataupun paskah di sekolah dan Gereja. Jadi sampai sekarang, saya pun masih aktif di gereja sebagai pengurus Komisi Remaja GKI Cipinang Elok. Budaya agama yang kuat ditanamkan oleh orangtua saya sehingga saya pun dapat melewati masa remaja yang labil dengan selamat.

Dari dulu sampai sekarang, saya harus berjuang sendiri untuk mendapat apa yang saya inginkan. Misalnya ketika dulu saya ingin masuk sekolah swasta unggulan di Bogor. Saya harus bangun jam 4 pagi untuk menempuh perjalanan Sukabumi-Bogor menggunakan angkutan kota sendirian agar bisa sekolah di sekolah swasta unggulan yang paling bagus di bogor.

Saya tidak pernah bersekolah di sekolah negeri. Sejak kecil saya selalu sekolah di sekolah swasta. Dari Playgroup, TK, dan SD, saya bersekolah di SDK BPK Penabur di Cicurug, Sukabumi, lalu SMP dan SMA saya bersekolah di Regina Pacis Bogor, lalu ketika kuliah, saya berkuliah di Universitas Multimedia Nusantara, jadi saya kadang suka bingung kalau berbicara atau mengobrol dengan anak negeri yang mungkin berbeda jalan pikiran dengan saya. Orangtua saya memasukkan saya di sekolah swasta karena mereka bilang kalau sekolah swasta itu disiplin, mereka ingin saya juga disiplin. Dan ternyata memang, bersekolah di sekolah swasta menempa saya menjadi orang yang sangat amat disiplin, apalagi ketika saya bersekolah di Regina Pacis Bogor, itu betul-betul membuat saya menjadi orang yang disiplin dan bekerja lebih giat dibanding orang lain. Hasilnya terasa di perkuliahan, saya dan tiga orang teman saya yang juga berkuliah di UMN, menjadi orang-orang yang ketika diberi tugas yang menurut orang lain banyak, kami tidak mengeluh dan mengerjakan tugas dengan senang hati karena dulu di SMP dan SMA, tugas kami lebih banyak dan memuakkan dibanding ketika kuliah.

Saya juga terbiasa disiplin karena bersekolah di Regina Pacis Bogor. Guru-guru di almamater saya itu memang sangat disiplin dan keras. Setiap hari kami diwajibkan membuat makalah, tugas yang harus betul-betul dikerjakan dengan hasil otak sendiri, karena mereka akan tahu apabila tugas kami diambil dari internet, kami juga diwajibkan membaca buku pelajaran, dan juga aturan-aturan yang membuat kesal, tapi itu semua membuat kami sangat disiplin dan strict. Misalnya peraturan sepatu hitam dan kaos kaki putih, itu harus ditaati kalau tidak, kami bisa mendapat hukuman, dan sebagainya.

Saya senang dididik dengan cara seperti itu oleh orang tua dan almamater saya, saya cukup bangga karena sekarang saya menjadi orang yang disiplin dan kuat ‘diterpa badai’. Walaupun kadang saya mengeluh dengan peraturan orang tua dan sekolah saya, tapi saya berterima kasih, karena jika tidak begitu, saya tidak akan menjadi seperti ini.

Saya juga tidak menyesal pernah mengalami 6 tahun harus belajar di almamater saya, harus berjuang keras untuk bersekolah di sana, saya bersyukur sekali. Malah saya menjadi orang yang disiplin dan kuat ketika harus menghadapi sesuatu yang sulit di hadapan saya. Saya selalu diajar untuk tidak pantang menyerah, mandiri, dan tidak bergantung pada orang lain. Orang tua saya sangat keras mendidik saya, mereka tidak mau saya menjadi orang yang manja pada orang lain. Mereka ingin saya bisa independen dan disiplin. Saya ingin jadi jurnalis, oleh karena itu saya masuk UMN, itu semua juga tidak lepas dari pengaruh budaya disiplin yang diterapkan oleh kedua orangtua saya. Dan saya tidak akan pernah menyia-nyiakan kesempatan yang sudah saya raih ini. Saya merasa sekali, budaya disiplin yang ditanamkan orang tua saya sejak kecil, memberi pengaruh besar bagi saya sekarang ini.

Comments

Popular Posts